Kau, kalian oh tidak ini tentang kami. Tahun 2016 adalah masa awal diri saya masuk dalam kerumunan domba, dalam ruang yang penuh dengan manusia multi dimensi.
Bertemu
dengan bermacam macam sekte, dari sekte yang suka melakukan ritual menyembah
buku, dosen, senior sampai sekte yang menyembah game, manusia dengan banyak
versi di ruang itu, ruang yang kita semua yakin akal sehat akan terjaga kejernihan
nya. Dalam dunia masyarakat terpelajar ternyata bukan hanya pemikiran cerdas
dapat terjaga baik tetapi juga kebodohan ter lestari.
Budaya
saring menaungi satu sama lain punya potensi terlindas terlindas budidaya peodallitik, sistem ini menciptakan manusia
yang haus akan identitas, pemikiran intelektual berubah menjadi subyektifitas
wewenang tiap-tiap orang. Akibatnya "solidaritas sosial" hanya
menjadi sekedar nama untuk pertarungan absurut.
Siapa
sebenarnya yang mempermainkan pola di dalam masyarakat kampus yang sejatinya
pemikiran ter lestari. Mengutip salah satu ucapan pemikir jerman, katanya yang
paling asik adalah memerintah dan memporak-porandakan manusia yang tidak berpikiran.
Ruang
kuliah hari ini telah bergeser menjadi ruang ambisius dan ambiguitas, manusia didalaminya
mempertaruhkan nyawa untuk menabung nilai tinggi yang sebenarnya itu adalah
sesuatu yang condong tidak bernilai.
Melakukan
semua hal di luar konsep metodologi yang sifatnya non-ilmiah hingga pemberian
sesajian untuk memuaskan hasrat para dosen yang haus harga diri, semua
terlaksana dengan senang hati.
kadang
saya penasaran bagaimana jika para dosen yang haus harga diri ditanyakan, mau
dihargai berapa dirinya pak ? Mungkin nasi kotak istana kepresidenan cukup.
Tentu
saja saya bukannya tidak suka semua dosen, ada banyak dosen yang saya gemari
terutama mereka yang terbuka dan senang menerima kritikan serta punya karakter
dan cara mengajar yang lumayan menggelitik kepala saya.
Karena
saya percaya jika ide dan konsep tidak mendahului perihal apa yang di kerjakan
maka sifatnya condong primitifsisme.
Orang seperti ini hanya larut dalam seremonial , diam disitu dan lupa terhadap
hakikat darinya tak mampu melampaui apa yang di cita-citakan dan ingin
usahakan.
Kondisi
seperti itu persis seperti kisah pulau utopia karya Thomas Moore, yang awalnya
di perkenalkan oleh Karl Marx dan dipakai oleh kaum sosialis untuk melihat
peta-peta masyarakat komunal. Agar dapat menggeser praktik idealistic tanpa
nilai, tetapi hari ini yg seperti itu malah membludak ke permukaan.
Dampak
dari budaya sesajian antara mahasiswa ke dosen, lihat saja belum lama ini populer
nya film horor hantu dan sebangsanya, menunjukkan bahwa impotensi kaum terdidik
dalam merespon dekadensi kondisi sosial politik kontemporer hingga memilih
sikap eskapisme intelektual.
Belum
lagi kata tentang Radikalisme yang juga tidak kalah populer salah kaprah nya di
kampus. Saya pernah bertemu salah satu dosen di kampus yang keliru dalam
menerjemahkan kata radikalisme, mungkin dirinya telah disusupi hantu orde baru
atau bagaimana? Entahlah!
Dirinya
menafsirkan radikalisme sebagai paham kekerasan. Padahal istilah radikalisme harus dilihat sebagai
substansi kedalaman setiap kosen ilmu pengetahuan, semua pakar dan ilmuwan
harus radikal pada kosen keilmuan masing-masing. Jika tidak maka semua ilmu
tidak akan punya identitas pembeda. Karena Bagi saya yang berbau kekerasan itu
hadir karena manusia diolah berdasarkan normalisasi aktivitas sebagaimana
manusia biasanya. Jika kebebasan itu mutlak adanya aktivitas seharusnya tidak
dibatasi.
Hidup
dalam dunia "mamalia sosial" memang membingungkan apalagi baik-buruk
selalu di tafsirkan setiap orang dengan objektif . Kesalahan di pretel-ih habis-habisan, sampai-sampai
setiap orang gagap dalam melakukan sesuatu yang seharusnya menjadi kenikmatan
bagi dirinya, hidup di atur berdasarkan kesesuaian nya aktivitas manusia.
Ada
apa ?
Saking
baik-buruk, benar-salah, itu menaungi dan memayungi kultur manusia. Tuhan jadi
tidak terlihat seperti Tuhan. Hakim abadi adalah milik manusia. Robot dan
manusia adalah mahluk serupa di tengah-tengah kehidupan yang basisnya
benar-salah.
Menurut
ku kasur seharusnya bukan tempat ter nyaman dan mata yang terlihat merah tidak
pernah bisa melambangkan kepuasan.
Seharusnya
masyarakat kampus mampu menjaga akal dalam gonjang-ganjing kepentingan, di tengah
deras kepentingan pembangunan dalam masyarakat kita, kontradiksi yang di
akibatkan sosiokultural menghasilkan tidak hanya kemajuan tetapi juga
ketimpangan, ketidak adilan dalam kondisi sosial bukan hanya fakta yang sedang
di usahkan
perbaikannya tetapi juga suatu keadaan yang di lestarikan menjadi suatu iklim.
pada
suatu kondisi semacam itu tdk hanya diperlukan penerapan teknik-praktis tetapi
juga terang teori untuk membuka jalan yang mengelapkan pemikiran masyarakat
terkait realitas sosial. ideologi kritis di perlukan pada saat seperti itu.
Max
Horkheimer
pernah berucap "Masa depan kemanusiaan hanya tergantung pada adanya sikap
kritis dewasa ini".
Komentar