Menulis, bagi
sebagian orang, mungkin hanyalah aktivitas sederhana: duduk, memegang pena atau
mengetik di layar, lalu membiarkan kata-kata mengalir. Tetapi bagi saya,
menulis lebih mirip kegiatan spiritual ringan; semacam ibadah kecil yang
mempertemukan pikiran, imajinasi, dan kenyataan di ruang yang sama. Ia adalah
cara paling damai untuk mengajak otak berdialog, sekaligus membujuk hati agar
tidak terlalu dramatis dalam menanggapi kehidupan.
Ketika menulis,
kita membuka pintu kecil di kepala, lalu membiarkan inspirasi berhamburan
seperti tamu pesta yang datang tanpa undangan. Terkadang inspirasi itu jelas,
rapi, dan mudah diraih. Namun sering kali ia muncul seperti bayangan burung
lewat: cepat, samar, dan membuat kita bertanya-tanya, “Barusan itu ide bagus
atau cuma halusinasi karena belum minum kopi?” Dalam dunia menulis, semua
kemungkinan itu tetap sah.
Saya sering
berpikir bahwa inspirasi dan burung memiliki hubungan filosofis yang menarik.
Burung-burung yang beterbangan bebas di langit sering membuat kita ikut merasa
lega, seperti sedang ikut terbang di antara awan. Tetapi kenyataan berkata
lain: tidak semua burung bisa terbang setinggi harapan kita. Ada burung elang
yang hidupnya di langit, tetapi ada pula ayam, kasuari, atau burung unta yang
hobinya jalan kaki. Mereka berkaki panjang, bersayap besar, tapi memilih hidup
di tanah. Menariknya, kita pun mirip: punya potensi, punya harapan, tetapi
kadang memilih tetap tinggal di zona nyaman, kecuali ada “predator” bernama
deadline atau tekanan hidup yang memaksa kita berlari.
Itulah mengapa
menulis menjadi penting. Ia membantu kita memahami bahwa dunia tidak selalu
sesuai ekspektasi, tetapi otak kita punya cara lain untuk memaknai kenyataan.
Kadang melalui imajinasi, kadang melalui humor, dan kadang melalui mimpi-mimpi
yang muncul di waktu tidur.
Freud pernah
berkata bahwa mimpi adalah representasi dari realitas yang belum selesai.
Artinya, mimpi adalah kisah yang tertunda, antrian cerita dalam pikiran yang
belum sempat ditulis. Maka menulis adalah upaya menarik mimpi ke dunia nyata,
mengubah angan menjadi kalimat, dan mengisi kekosongan realitas dengan sesuatu
yang lebih berisi.
Saya pernah
mengalami momen yang cukup lucu dan filosofis sekaligus. Suatu sore, setelah
seharian bergelut dengan pekerjaan kantoran yang padat dan repetitif, saya
pulang dalam kondisi fisik seperti habis “di-crash test”. Begitu sampai kamar,
saya langsung rebah di kasur tanpa perlawanan. Tubuh mencoba memulihkan tenaga,
tetapi pikiran saya masih sibuk membahas pekerjaan. Namun begitu terlelap,
muncullah mimpi aneh: saya menjadi bos. Tidak tanggung-tanggung, bukan bos
kecil-kecilan, tetapi bos besar yang bisa menentukan siapa yang boleh masuk
rapat, siapa yang tidak, dan siapa yang harus di-audit karena tingkahnya
mengganggu.
Di satu sisi saya
tertawa sendiri. Di sisi lain saya bertanya, mengapa saya bermimpi seperti itu?
Apakah itu hanya keinginan terpendam? Atau apakah, menurut teori psikologi
tertentu, itu tanda bahwa versi diri saya di masa depan sedang
memanggil-manggil? Saya pernah menonton sebuah video yang menjelaskan bahwa
ketika kita sangat menginginkan sesuatu, mungkin itu karena diri kita di
dimensi waktu lain sudah memilikinya. Menarik, tentu saja. Meski tidak ada
bukti ilmiah yang sangat kuat, teori semacam ini membuat hidup terasa sedikit
lebih menyenangkan.
Jika itu benar,
maka menulis menjadi jembatan yang menghubungkan dua dimensi tersebut: masa
kini dan masa depan. Setiap kali kita menulis keinginan, harapan, atau gagasan,
kita sebenarnya sedang menandai jalan menuju versi diri kita yang lebih matang.
Menulis memberi kita bahasa untuk menyapa masa depan, sekaligus cara untuk
berdamai dengan masa lalu.
Menulis juga
merupakan alat untuk memanipulasi realitas—dalam artian yang sehat. Di atas
kertas, kita bebas menata ulang cerita, memperhalus luka, atau menertawakan
hal-hal yang dulu kita anggap memalukan. Jika mood sedang bagus, tulisan terasa
lembut dan penuh optimisme. Jika mood sedang buruk, tulisan menjadi bukti bahwa
kita sedang berusaha bertahan. Bahkan tulisan yang lucu pun kadang lahir dari
kesedihan yang dibungkus rapi. Begitulah manusia: makhluk yang mampu
menyamarkan duka menjadi humor agar hidup tetap bisa dilanjutkan.
Namun, satu
pelajaran penting dari menulis adalah kita tidak membutuhkan akhir yang
sempurna untuk memulai. Banyak orang terjebak pada keinginan membuat tulisan
yang “bagus sejak awal”, padahal tulisan bagus itu baru lahir setelah dibiarkan
berantakan terlebih dahulu. Tulisan yang terlalu memaksakan akhir akan
kehilangan kejujuran. Sebaliknya, tulisan yang fokus pada permulaan akan
memberi kita ruang untuk bernapas.
Plato pernah
menyatakan bahwa ide adalah bentuk realitas yang ditarik dari dunia fisik.
Dalam konteks menulis, saya memaknai itu sebagai pesan bahwa tulisan adalah
cara kita menangkap realitas yang tersembunyi. Kita tidak hanya menyalin apa
yang terjadi di luar, tetapi memprosesnya di dalam pikiran. Objektifikasi dan
subjektivitas saling bertemu, saling mendominasi, dan saling mempengaruhi.
Pikiran kita, seperti ruang rapat yang penuh suara, selalu sibuk menentukan
mana yang penting dan mana yang bisa dibiarkan lewat begitu saja.
Dominasi pikiran
itu sendiri menarik. Ketika menulis, kadang kita merasa ingin membuat tulisan
yang “mengalahkan” tulisan orang lain. Tetapi jika tujuan menulis adalah
kompetisi, maka tulisan tidak akan pernah selesai. Menulis bukan tentang
memenangkan lomba perspektif, tetapi tentang memberikan alternatif cara
pandang. Tulisan yang baik bukan hanya berbicara tentang diri penulis, tetapi
juga tentang dunia yang lebih luas.
Indonesia pun
memiliki sejarah panjang tentang narasi. Sejak masa kerajaan, kolonialisme,
hingga politik modern, narasi selalu menjadi alat kebijakan, ada yang
menjadikannya sarana pencerahan, ada juga yang memanfaatkannya sebagai
propaganda. Namun di balik semua itu, selalu ada ruang refleksi. Kita menulis
bukan untuk menyebarkan propaganda, tetapi untuk memahami diri sendiri dan
masyarakat tempat kita hidup.
Pada akhirnya,
menulis adalah seni berdamai dengan pikiran yang berlarian, dan seni merangkul
imajinasi yang kadang lebih liar daripada kenyataan. Menulis membuat kita sadar
bahwa hidup tidak harus selalu masuk akal. Kita boleh bingung, kita boleh
salah, dan kita boleh tertawa atas kebingungan itu. Yang penting, kita tetap
menulis.
Karena selama kita
masih bisa menuliskan pikiran—baik yang jernih maupun yang berantakan—berarti
kita masih punya harapan untuk tumbuh. Dan selama kita bisa menertawakan diri
sendiri di tengah proses itu, berarti imajinasi kita bekerja dengan sangat sehat.

Komentar