Dalam arus yang begitu deras, kita sering lupa bahwa kehidupan tidak seluruhnya berlangsung di dalam gawai. Ada ruang-ruang kecil, titik-titik hening, tempat manusia masih saling menyapa tanpa notifikasi. Salah satu ruang itu adalah Toboli, sebuah desa di Kecamatan Parigi Utara, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.
Toboli dikenal sebagai titik temu—ruang persinggahan bagi
mereka yang bepergian dari utara menuju selatan, atau dari tengah menuju timur.
Jalanan desa itu seolah menjadi nadi yang menghubungkan banyak cerita.
Saya
tiba di Toboli setelah menempuh perjalanan panjang dari Manado. Cuaca pagi itu
sejuk namun menyimpan letih dari beberapa jam perjalanan. Belum sempat
merenggangkan kaki, seorang ibu memanggil sambil tersenyum,
“Pak lalampanya, masih panas baru selesai dibakar.”
Suaranya hangat, lugas, dan sangat khas. Di dunia yang hampir setiap transaksinya dilakukan lewat aplikasi dan tombol-tombol digital, sapaan langsung seperti itu terasa begitu akrab.
Lalampa adalah makanan khas Sulawesi Tengah yang terbuat dari beras ketan berisi ikan, lalu dibungkus dengan daun kelapa sebelum dibakar. Aromanya kuat namun lembut, dan bagi banyak orang, ia bukan sekadar makanan, melainkan penanda identitas.
Anda Jika datang dari arah selatan menuju Parigi, makanan ini dikenal dengan nama gogos. Di Toboli, dua penyebutan itu bertemu, sama seperti berbagai logat masyarakat yang berlalu-lalang.
“Saya pesan satu, Bu. Kalau kopi hitam ada, saya mau juga,” ujar saya.
Perjalanan panjang, udara dingin, dan aroma lalampa yang baru keluar dari bara membuat pagi itu terasa lengkap. Sang ibu menyiapkan segalanya dengan cepat namun penuh perhatian. Tidak ada transaksi digital, tidak ada QR code, tidak ada dompet elektronik—hanya senyum dan percakapan ringan yang mengalir begitu saja.
Ketika
duduk menikmati lalampa dan kopi hitam, saya memperhatikan suasana sekitar.
Orang-orang singgah dalam waktu yang singkat. Ada yang baru turun dari bus, ada
yang menunggu kendaraan berikutnya, ada pula pengendara motor yang sekadar
menepi untuk beristirahat. Di tengah ramainya lalu lintas, saya melihat sesuatu
yang tidak terlihat di kota-kota besar: pertemuan yang sungguh-sungguh.
Percakapan
terdengar dari berbagai sudut. Ada yang berbicara dengan logat selatan, ada
yang logat Kaili, ada pula yang datang dari arah Gorontalo. Mereka
berbeda-beda—bahasa, rupa, cerita—tetapi di tempat yang kecil ini, semuanya
bercampur tanpa jarak.
Seorang pemuda yang duduk tak jauh dari saya sedang bercerita kepada temannya tentang pekerjaan barunya di Morowali. Seorang ibu mengeluhkan harga tiket kapal yang naik. Seorang bapak berusia paruh baya tertawa keras saat berbicara tentang rencana panen.
Tidak ada yang menunduk menatap layar terlalu lama. Tidak ada
yang sibuk membalas ratusan pesan. Kehangatan interaksi itu membuat Toboli
terasa seperti miniatur Sulawesi yang ramah dan terbuka.
Dalam momen singkat itu, saya menyadari bahwa perjalanan tidak hanya soal mencapai tujuan, tetapi juga soal menemukan diri sendiri di tengah tempat-tempat kecil yang kita singgahi. Toboli menawarkan sejenis jeda—ruang untuk merasakan kembali kehadiran orang lain, meski hanya beberapa menit.
Di tengah dunia yang kian terdigitalisasi, persinggahan seperti Toboli menjadi pengingat penting: bahwa kehidupan manusia tidak bisa seluruhnya dipadatkan dalam layar. Ada hal-hal yang hanya dapat dirasakan secara langsung—aroma daun kelapa terbakar, suara logat yang bercampur, senyuman orang yang baru kita temui, dan rasa syukur sederhana saat menikmati kopi hitam di sela perjalanan panjang.
Ketika
bus kembali datang dan orang-orang bersiap melanjutkan perjalanan, saya
merasakan sesuatu yang berbeda. Momen singkat itu, meski sederhana, memberi
jeda untuk kembali menyadari bahwa dunia masih memiliki ruang untuk interaksi
yang tidak tergesa-gesa. Toboli mungkin hanya desa kecil di lintasan jalan
trans Sulawesi, tetapi bagi saya, tempat itu adalah simbol bahwa kehangatan
manusia tidak akan pernah tergantikan oleh teknologi.
“Di setiap perjalanan, alam dan manusia selalu menawarkan pelajaran. Dan seperti yang diyakini Leonardo, siapa pun yang berhenti untuk mengamati dengan sungguh-sungguh akan menemukan bahwa kehidupan selalu lebih kaya daripada apa yang tampak di permukaan.”

Komentar