Langsung ke konten utama

Toboli dan Jeda

Perkembangan teknologi informasi telah mengubah hampir seluruh dimensi hidup masyarakat. Dalam satu dekade terakhir, smartphone menjadi perangkat yang paling dominan dalam membentuk kebiasaan, keputusan, hingga cara orang berinteraksi. 

Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024 menunjukkan bahwa tingkat penetrasi pengguna smartphone di Indonesia mencapai 79,5 persen. Artinya, lebih dari dua ratus juta penduduk terhubung dan beraktivitas di ruang digital setiap hari. Tak hanya itu, rata-rata waktu penggunaan smartphone kini melampaui lima jam per hari, menegaskan betapa layar telah menjadi ruang tempat kita bekerja, berkomunikasi, sekaligus melarikan diri.

Dalam arus yang begitu deras, kita sering lupa bahwa kehidupan tidak seluruhnya berlangsung di dalam gawai. Ada ruang-ruang kecil, titik-titik hening, tempat manusia masih saling menyapa tanpa notifikasi. Salah satu ruang itu adalah Toboli, sebuah desa di Kecamatan Parigi Utara, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. 

Toboli dikenal sebagai titik temu—ruang persinggahan bagi mereka yang bepergian dari utara menuju selatan, atau dari tengah menuju timur. Jalanan desa itu seolah menjadi nadi yang menghubungkan banyak cerita.

Saya tiba di Toboli setelah menempuh perjalanan panjang dari Manado. Cuaca pagi itu sejuk namun menyimpan letih dari beberapa jam perjalanan. Belum sempat merenggangkan kaki, seorang ibu memanggil sambil tersenyum,

“Pak lalampanya, masih panas baru selesai dibakar.”

Suaranya hangat, lugas, dan sangat khas. Di dunia yang hampir setiap transaksinya dilakukan lewat aplikasi dan tombol-tombol digital, sapaan langsung seperti itu terasa begitu akrab.

Lalampa adalah makanan khas Sulawesi Tengah yang terbuat dari beras ketan berisi ikan, lalu dibungkus dengan daun kelapa sebelum dibakar. Aromanya kuat namun lembut, dan bagi banyak orang, ia bukan sekadar makanan, melainkan penanda identitas. 

Anda Jika datang dari arah selatan menuju Parigi, makanan ini dikenal dengan nama gogos. Di Toboli, dua penyebutan itu bertemu, sama seperti berbagai logat masyarakat yang berlalu-lalang.

“Saya pesan satu, Bu. Kalau kopi hitam ada, saya mau juga,” ujar saya.

Perjalanan panjang, udara dingin, dan aroma lalampa yang baru keluar dari bara membuat pagi itu terasa lengkap. Sang ibu menyiapkan segalanya dengan cepat namun penuh perhatian. Tidak ada transaksi digital, tidak ada QR code, tidak ada dompet elektronik—hanya senyum dan percakapan ringan yang mengalir begitu saja.

Ketika duduk menikmati lalampa dan kopi hitam, saya memperhatikan suasana sekitar. Orang-orang singgah dalam waktu yang singkat. Ada yang baru turun dari bus, ada yang menunggu kendaraan berikutnya, ada pula pengendara motor yang sekadar menepi untuk beristirahat. Di tengah ramainya lalu lintas, saya melihat sesuatu yang tidak terlihat di kota-kota besar: pertemuan yang sungguh-sungguh.

Percakapan terdengar dari berbagai sudut. Ada yang berbicara dengan logat selatan, ada yang logat Kaili, ada pula yang datang dari arah Gorontalo. Mereka berbeda-beda—bahasa, rupa, cerita—tetapi di tempat yang kecil ini, semuanya bercampur tanpa jarak.

Seorang pemuda yang duduk tak jauh dari saya sedang bercerita kepada temannya tentang pekerjaan barunya di Morowali. Seorang ibu mengeluhkan harga tiket kapal yang naik. Seorang bapak berusia paruh baya tertawa keras saat berbicara tentang rencana panen.

Tidak ada yang menunduk menatap layar terlalu lama. Tidak ada yang sibuk membalas ratusan pesan. Kehangatan interaksi itu membuat Toboli terasa seperti miniatur Sulawesi yang ramah dan terbuka.

Dalam momen singkat itu, saya menyadari bahwa perjalanan tidak hanya soal mencapai tujuan, tetapi juga soal menemukan diri sendiri di tengah tempat-tempat kecil yang kita singgahi. Toboli menawarkan sejenis jeda—ruang untuk merasakan kembali kehadiran orang lain, meski hanya beberapa menit.

Di tengah dunia yang kian terdigitalisasi, persinggahan seperti Toboli menjadi pengingat penting: bahwa kehidupan manusia tidak bisa seluruhnya dipadatkan dalam layar. Ada hal-hal yang hanya dapat dirasakan secara langsung—aroma daun kelapa terbakar, suara logat yang bercampur, senyuman orang yang baru kita temui, dan rasa syukur sederhana saat menikmati kopi hitam di sela perjalanan panjang.

Ketika bus kembali datang dan orang-orang bersiap melanjutkan perjalanan, saya merasakan sesuatu yang berbeda. Momen singkat itu, meski sederhana, memberi jeda untuk kembali menyadari bahwa dunia masih memiliki ruang untuk interaksi yang tidak tergesa-gesa. Toboli mungkin hanya desa kecil di lintasan jalan trans Sulawesi, tetapi bagi saya, tempat itu adalah simbol bahwa kehangatan manusia tidak akan pernah tergantikan oleh teknologi.

“Di setiap perjalanan, alam dan manusia selalu menawarkan pelajaran. Dan seperti yang diyakini Leonardo, siapa pun yang berhenti untuk mengamati dengan sungguh-sungguh akan menemukan bahwa kehidupan selalu lebih kaya daripada apa yang tampak di permukaan.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merayu Ingatan Dengan Tulisan

Menulis, bagi sebagian orang, mungkin hanyalah aktivitas sederhana: duduk, memegang pena atau mengetik di layar, lalu membiarkan kata-kata mengalir. Tetapi bagi saya, menulis lebih mirip kegiatan spiritual ringan; semacam ibadah kecil yang mempertemukan pikiran, imajinasi, dan kenyataan di ruang yang sama. Ia adalah cara paling damai untuk mengajak otak berdialog, sekaligus membujuk hati agar tidak terlalu dramatis dalam menanggapi kehidupan. Ketika menulis, kita membuka pintu kecil di kepala, lalu membiarkan inspirasi berhamburan seperti tamu pesta yang datang tanpa undangan. Terkadang inspirasi itu jelas, rapi, dan mudah diraih. Namun sering kali ia muncul seperti bayangan burung lewat: cepat, samar, dan membuat kita bertanya-tanya, “Barusan itu ide bagus atau cuma halusinasi karena belum minum kopi?” Dalam dunia menulis, semua kemungkinan itu tetap sah. Saya sering berpikir bahwa inspirasi dan burung memiliki hubungan filosofis yang menarik. Burung-burung yang beterbangan beba...

Melihat Dari Sisi Lain Industri Inovasi Dan Infrastruktur : Refleksi Atas Pembangunan dan Bonus Demografi Indonesia, Siapkah kita ?

Penulis : Moh. Wafri Matorang Pekan kemarin saya mampir di sebuah kedai kopi yang sederhana di pinggiran kampus universitas Hasanuddin, untuk sekedar memperbaiki suasana hati, terdengar saut-sahutan pemuda dengan mimpi kemahasiswaannya, beberapa bangku lain terlihat ada semacam politikus yang membicarakan tentang lobi-lobi politik, tepat di belakang bangku saya terlihat seseorang yang tidak asing bagi saya, teman lama yang punya visi besar terkait gerakan buruh yang harus punya daya gerak kuat, dengan harapan mampu untuk menciptakan kehidupan adil makmur untuk semua orang. Keluar dari semua kesan tersebut dari Pertemuan warung kopi dengan sahabat lama itu menjadi awal atas perbincangan panjang terkait masa depan. Percakapan itu, dimulai dengan mempertanyakan kasus kesehatan mental remaja Indonesia jika kita coba untuk merefleksikan beberapa tahun kemarin ternyata, data Riskesdas (riset kesehatan dasar) menjelaskan Pada usia remaja (15-24 tahun) memiliki proporsi depresi sebesar 6,2%. D...