Hidup dalam ruangan sempit kos-kosan dengan sirkulasi udara yang minim, karena ventilasi kamar yang telah di tutupi kertas-kertas bekas, mungkin itu fungsinya untuk mencegah debu jalanan masuk. Istimewa bahkan juga Isi saku celana dengan rupiah yang dimiliki hanya seadanya yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan primer seorang mahasiwa, yaitu makan dan jajan rokok di warung-warung pinggir jalan. Bagiku, berharap jadi orang berduit itu sungguh naif, ibarat berharap jadi cerdas tanpa belajar.
Dalam kamar yang berserakan bersama sampah dan debu rokok, saya duduk berteman buku bacaan politik, sejarah dan sastra serta koleksi lama yang masih terbungkus plastik pabrik, belum terbuka karena belum kubaca, kususun rapi ibarat perpustakaan megah di dalam kamar.
Yang tadi itu seputar kamar kusut bukan kamar mewah. Mari kita cerita sedikit soal diri yang terlanjur terikat dengan ruang yang lain. Pada waktu yang telah saya habiskan mungkin sekitar dua tahun, melakukan aktivitas kampus. Lalu kembali rebahan bersama pikiran yang menjerit-jerit di kepala karena tidak selesai di waktu saat diskusi dalam ruang kelas, itu sungguh hanya melahirkan kesia-siaan intelektual. Ruang kelas makin sempit, ruang pikiran lebih-lebih.
Saya memang selalu seperti itu hadir dengan ketidakpuasan, pikiran saya tidak pernah tuntas keluar karena diskusi ruang kelas kampus hanyalah syarat agar para dosen memenuhi jadwal jam tugas mengajar, honor di terima setelah itu selesai. Makanya dalam diskusi selalu dibatasi “kita di kejar waktu”, ibarat penumpang pesawat yang lupa beli obat anti mabuk karena jadwal penerbangan telah tiba, sudah seperti manusia dibunuh oleh diri sendiri.
Saya memang belum selesai, atau kita semua ! Ahh, sudahlah. Aktivitas yang selalu di gantung berakhir cacian di pinggiran jalan, itu sudah sedikit memuaskan, ya hanya sedikit!.
Selasa kemarin, saya kedatangan tamu perempuan cantik. Lisa namanya, senior saya sekaligus sahabat serta teman diskusi buku-buku kiri. Dia terlihat begitu gembira dengan mimik wajah dan bibir merahnya. “ternyata orang kiri bisa bahagia juga yaa, apa perbudakan telah tuntas ?” ucapku terhadapnya. “ nggak juga”, dia menimpali dengan ekspresi seakan kalimat yang saya lontarkan kepadanya hanyalah bualan. “Begini, sebenarnya saya mau ngajak kamu naik gunung sambil berdiskusi perihal kapan kapitalisme tumbang ?” sambungnya kemudian.Tanpa basa-basi saya langsung memenuhi ajakannya yang tanpa persiapan. ”Besok kita akan berangkat ke Lembah Ramma, Malino Sulawesi Selatan” ucapnya.
Dalam perjalanan kami bertemu dan bercengkerama dengan pendaki-pendaki lain di tempat parkiran motor. Senyum mewarnai perkenalan kami, senyum kepuasan yang ditunjukkan para pendaki yang baru turun dan ekspresi tergugah pada pendaki yang sebentar lagi akan menaklukkan Lembah Ramma, sama halnya seperti saya dan kawan saya ini. Momen-momen pertemuan terasa sangat romantis, seperti sepasang sejoli yang baru selesai bertarung dengan jarak.
Namun, romantisme itu tidak bertahan lama, perjalanan dimulai. Setiap langkah kaki saya entah kenapa seperti ada yang menghalang dalam pikiran, diselimuti kemalasan, cuaca memburuk dipertengahan jalur pendakian, hujan deras dan jas hujan ketinggalan di warung alias lupa dibeli, perjalanan pendakian memang tidak seindah isi vlog Fiersa Besari di Youtube.
Menjelang pertengahan jalan jalur pendakian untuk menaiki tanjakan jalan, terasa alam perlahan memang tidak seromantis pertemuan kami dengan pendaki-pendaki lain di tempat parkiran tadi, hujan mengguyur lereng gunung, memasuki penurunan lembah, bunyi gemuruh petir mendengung. Sampai longsor tepian lereng gunung ikut menyambut kedatangan kami.
Saya lupa kapan terakhir fisikku terluka, tetapi untuk menghindari longsor kami berlari, batu pun akhirnya menyambut lututku yang gemulai, rasa nyeri lutut yang mungkin berkisar skala 5 mendenyut, menemani perjanan menuju tempat kemah.
Rencana diskusi yang telah saya buat dengan sahabat berakhir tragis karena saya perlu istirahat. Menjelang pagi saya pun menagih sakit yang dibuat alam kemarin sore, saya melirik sekitar alam yang di penuhi sampah bekas makanan, jalur air lembah yang digenangi kotoran manusia. Sakit fisik terbayar tetapi tidak tuntas. waktu itu saya sadar pendaki memang hanya ingin menikmati tetapi tidak ingin dinikmati.
Alam bukanlah tempat pembuangan sampah, tetapi alam adalah bagian yang paling penting dalam rantai kehidupan manusia. Mulai dari makan, mendapatkan bahan pakaian, sampai imajinasi untuk memperkaya khasanah intelektual.

Komentar