Langsung ke konten utama

Menyingkap Tabir dalam Ambisi Kedunguan



Manusia hidup dalam bermacam-macam norma-nilai yang di bentuk berdasarkan suatu kondisi geografis dalam hal ini untuk memudahkan dalam melakukan semua aktivitas yang dianggapnya tidak menyulitkan, dengan begitu manusia tidak akan susah dan gampang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan manusia di sekelilingnya juga akan gampang di penuhi.
Pola laku dalam praktis sebagai bagian yang coba untuk diterjemahkan untuk membentuk sebuah hukum yang secara tidak langsung dipakai dan berlaku dalam kehidupan masyarakat ini yang kemudian saya sebut sebagai kehidupan kuno manusia.

Perkembangan dari satu masyarakat dalam kehidupan kuno membawanya pergi kepada kehidupan ketegangan manusia, dalam hal ini manusia kemudian mencoba melihat bagaimana kehidupan harus lebih mudah dari kehidupan yang sedang dialaminya dalam hal ini mempersiapkan suatu masa dimana masyarakat akan siap untuk masuk dalam dunia yang kita semua kenal dengan modernisasi.
Banyak pemikir yang menafsirkan terkait kemoderenan tetapi yang paling berpengaruh adalah pemikiran-pemikiran yang lahir di Eropa tengah, negara sebelah barat daya Eropa, dan negara di Eropa barat.

Hari ini hidup dalam masyarakat yang katanya kebohongan dan kebenaran tumbuh subur, ah… benarkah seperti itu ?.
Saya rasa ini adalah tamparan hangat untuk kaum intelektual senior abad 21. Apa ya pekerjaan kaum terpelajar sekarang ? apa hanya mau kejar target pencapaian jadi CPNS (pegawai negeri sipil), atau apa ? kok bisa sih kebohongan bisa tubuh beri-ringan dengan kebenaran.

Hidup dalam dunia kontradiksi kebohongan dan kebenaran atau bohong sekaligus benar, lelucon paling sukses di tuai, peringatan tentang stop Hoax di semai di mana-mana dari papan iklan jalan, media sosial sampai madding-madding kampus tidak henti-hentinya di peringatkan. Padahal manusia mustahil bisa hidup dalam dua realitas. Seperti jika lapar ya lapar bukan kenyang.
Budaya ini larut dan melebur serta dibenarkan begitu saja, loh kenapa bisa ya ? terus peran kaum intelektual dimana ?

Budaya senior-junior di kampus, sudah seperti budaya raja dan budak ketika ketemu, fatwa senior sudah dianggap seperti firman tuhan.
Ruang diskusi senior-junior seperti ruang pemberian wahyu dari Tuhan ke Nabi, saya tidak  lihat sih Tuhan memberikan wahyu ke Nabi tetapi secara imajinatif seperti itu lah. Tetapi jangan bilang kalau saya penista agama ya.

Pertemuan dengan mereka adalah pertemuan untuk mendengarkan cerita pengalaman, mereka membayangkan masa-masa semester awal, kemudian menceritakannya, adinda saya dulu begini-begitu, saya melakukan ini-itu. Selalu pertemuan dengan mereka adalah pertemuan untuk mendengarkan ceramah, seakan-akan pencapaian mereka adalah kewajiban untuk di bangga kan.
Yang kami perlukan adalah rasionalitas pemikiran untuk menjawab ketimpangan masyarakat, bukan menumpuk pikiran kita dengan cerita-cerita pengalaman senior.

Imajinasi terkubur hidup-hidup, karena tidak adalah jawaban untuk menjembatani kebenaran dan kebohongan yang hadir dalam masyarakat hari ini. Kita tidak pernah meminta untuk menjadi aktivis pendengar curahan hati masa-masa sulit senior dahulu kala. Tetapi aktivitas ini telah membeku menjadi kebudayaan saat pertemuan. Akhirnya kita kehilangan arah untuk menyikapi persoalan di luar, karena tempat pencetak pengetahuan terbatas pengetahuannya akhirnya sikap eskapisme adalah solusi dari kebuntuan pengetahuan.
Itulah kenapa hari ini manusia hidup berdampingan dengan kata viral, dari video cewek-cewek tik-tok sampai  media sosial dengan duka karena ada anak yang memukul orang tuanya. Aduh kok bisa viral ya, padahal jumlah terbesar pengguna media sosial adalah anak muda yang basisnya keluaran dari sekolah perguruan tinggi. Tetapi  sesuatu yang sifatnya substansi dalam ketimpangan kehidupan sosial hilang bahkan tidak viral.

Ini karena kebanyakan dari mereka terlalu meyakini bahwa sesuatu yang mereka yakini adalah esensi kehidupan, kita kehilangan cara pandang kritis dalam setiap fenomena didekat kita karena kekaguman kita mengara kepada sesuatu yang sipatnya di kagumi orang-orang kebayakan, ini adalah sebuh pola yang sangat mengharukan kareka kita adalah mereka dalam cara pandang masyarakat atau bisa dibilang kehilangan hakitat yang melekat pada setiap orang.
Apa yang dimaksust sebagai keterbatasan imajinasi atau imajinasi yang di batasi dalam hal ini saya yakin bahawa kita memang dari awal dibentuk untuk tidak mengenal diri, tetapi kita selalu meniru pola laku masyarakat agar setiap orang mendapakat imajinasi dan identitas diri .

Pertanyaanya apakah manusia memang selalu punya ketergantungan termasuk pikiran dan imajinasi ? jika seperti memang wajar saja kalau kita memang bukan kita diri kita sendiri tetapi kita adalah identitas yang berlaku , dan identitas itu kita adopsi dari masyarakat dan kita buat sebagai identitas diri kita.

Dari awal beberapa pemikir konterporer coba untuk menari diri dari pola laku seperti itu karena dianggap  pratis pemikiran itu adalah warisan abad kegelapan. Untuk mengkritik konteks itu, dengan tawaran awal apa kamu telah mengenal dirimu ? “ kenali dirimu  agar kamu mengenal yang diluar dari mu” dengan begitu dianggap dapat melihat pembeda antara relasi masyarakat dan individuyang bedah tetapi tidak terpisakan.

Karena kita individu yang harus berani berfikir sendiri.
Merdeka dalam berfikir dan bertindak adalah pesan yang saya ingat di waktu membaca buku “teori kritis sekolah frankfurt” karya dari Sindhunta. Pesan dalam bukunya yang membuat saya rindu pemikiran abad pos-moderen Berusaha untuk rasional puntun berujunng mitos untuk itu jadilah kamu untuk pikranmu sendiri Sapere aude.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merayu Ingatan Dengan Tulisan

Menulis, bagi sebagian orang, mungkin hanyalah aktivitas sederhana: duduk, memegang pena atau mengetik di layar, lalu membiarkan kata-kata mengalir. Tetapi bagi saya, menulis lebih mirip kegiatan spiritual ringan; semacam ibadah kecil yang mempertemukan pikiran, imajinasi, dan kenyataan di ruang yang sama. Ia adalah cara paling damai untuk mengajak otak berdialog, sekaligus membujuk hati agar tidak terlalu dramatis dalam menanggapi kehidupan. Ketika menulis, kita membuka pintu kecil di kepala, lalu membiarkan inspirasi berhamburan seperti tamu pesta yang datang tanpa undangan. Terkadang inspirasi itu jelas, rapi, dan mudah diraih. Namun sering kali ia muncul seperti bayangan burung lewat: cepat, samar, dan membuat kita bertanya-tanya, “Barusan itu ide bagus atau cuma halusinasi karena belum minum kopi?” Dalam dunia menulis, semua kemungkinan itu tetap sah. Saya sering berpikir bahwa inspirasi dan burung memiliki hubungan filosofis yang menarik. Burung-burung yang beterbangan beba...

Toboli dan Jeda

Perkembangan teknologi informasi telah mengubah hampir seluruh dimensi hidup masyarakat. Dalam satu dekade terakhir, smartphone menjadi perangkat yang paling dominan dalam membentuk kebiasaan, keputusan, hingga cara orang berinteraksi.  Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024 menunjukkan bahwa tingkat penetrasi pengguna smartphone di Indonesia mencapai 79,5 persen. Artinya, lebih dari dua ratus juta penduduk terhubung dan beraktivitas di ruang digital setiap hari. Tak hanya itu, rata-rata waktu penggunaan smartphone kini melampaui lima jam per hari, menegaskan betapa layar telah menjadi ruang tempat kita bekerja, berkomunikasi, sekaligus melarikan diri. Dalam arus yang begitu deras, kita sering lupa bahwa kehidupan tidak seluruhnya berlangsung di dalam gawai. Ada ruang-ruang kecil, titik-titik hening, tempat manusia masih saling menyapa tanpa notifikasi. Salah satu ruang itu adalah Toboli, sebuah desa di Kecamatan Parigi Utara, Kabupaten Parigi M...

Melihat Dari Sisi Lain Industri Inovasi Dan Infrastruktur : Refleksi Atas Pembangunan dan Bonus Demografi Indonesia, Siapkah kita ?

Penulis : Moh. Wafri Matorang Pekan kemarin saya mampir di sebuah kedai kopi yang sederhana di pinggiran kampus universitas Hasanuddin, untuk sekedar memperbaiki suasana hati, terdengar saut-sahutan pemuda dengan mimpi kemahasiswaannya, beberapa bangku lain terlihat ada semacam politikus yang membicarakan tentang lobi-lobi politik, tepat di belakang bangku saya terlihat seseorang yang tidak asing bagi saya, teman lama yang punya visi besar terkait gerakan buruh yang harus punya daya gerak kuat, dengan harapan mampu untuk menciptakan kehidupan adil makmur untuk semua orang. Keluar dari semua kesan tersebut dari Pertemuan warung kopi dengan sahabat lama itu menjadi awal atas perbincangan panjang terkait masa depan. Percakapan itu, dimulai dengan mempertanyakan kasus kesehatan mental remaja Indonesia jika kita coba untuk merefleksikan beberapa tahun kemarin ternyata, data Riskesdas (riset kesehatan dasar) menjelaskan Pada usia remaja (15-24 tahun) memiliki proporsi depresi sebesar 6,2%. D...